Stigma Anak Broken Home Di Kalangan Gen Z

Artikel Pendidikan

Penulis : Seila Febriani Putri (Mahasiswi Unisa)

Broken home adalah Mereka sering mengalami kekurangan kasih sayang dari orang tua mereka dan bahkan kehilangan figur yang penting dalam kehidupan mereka. Istilah “broken home,” seperti yang dijelaskan oleh Quensel, merujuk pada gambaran keluarga yang tidak harmonis dan tidak berfungsi seperti keluarga yang utuh. Konflik dalam keluarga dapat memicu pertengkaran yang berujung pada perpisahan.

Terjadinya perceraian dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

1) Faktor Ekonomi

 Kesulitan ekonomi dalam rumah tangga dapat menjadi pemicu konflik dan stres, yang pada akhirnya dapat menyebabkan perceraian.

2) Perselingkuhan

Ketidaksetiaan dalam hubungan dapat merusak kepercayaan dan menyebabkan keretakan yang sulit diperbaiki.

3) Kekerasan dalam Rumah Tangga

Adanya kekerasan fisik, emosional, atau verbal dalam rumah tangga dapat menciptakan lingkungan yang tidak sehat dan menjadi alasan bagi perceraian.

4) Ketidakharmonisan Pasangan

Ketidakcocokan atau ketidakselarasan antara pasangan dapat menyebabkan ketegangan yang berkepanjangan dan mengarah pada keputusan untuk bercerai.

5) Minimnya Pengetahuan dan Edukasi mengenai Berumah Tangga

Kurangnya pemahaman atau keterampilan dalam mengelola konflik, berkomunikasi, atau membangun hubungan yang sehat dapat berkontribusi pada ketidakmampuan pasangan untuk menjaga keberlangsungan pernikahan.

Allah tidak menyukai perceraian, sama seperti kita tidak menyukai ‘sifat’ seseorang, bukan orangnya. Meskipun anak-anak dari keluarga yang bercerai mengalami kehancuran keluarga, hal itu tidak menghentikan potensi mereka untuk membangun keluarga yang kokoh di masa depan.

Anak-anak dari keluarga yang bercerai adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada mereka, memberikan kekuatan untuk menghadapi segala tantangan. Kepada mereka, saya katakan bahwa kalian hebat dan kuat. Jangan pernah merasa sendirian di dunia ini, dan jangan berpikir bahwa kalian satu-satunya pihak yang terluka. Mungkin orang tua kalian juga merasakan luka akibat perceraian itu.

Mengenai stigma, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, stigma adalah tindakan memberikan label sosial dengan tujuan mencemarkan seseorang atau kelompok dengan pandangan negatif. Anak-anak dari keluarga yang bercerai membutuhkan ruang untuk berbicara, berkonsultasi, dan mendapatkan terapi psikologis. Penyelesaian masalah seringkali dapat ditemukan melalui pendekatan ini, dengan mendapatkan edukasi dari mereka yang dapat memberikan bantuan. Tentu saja, anak-anak harus dilindungi hak dan kewajibannya sesuai dengan undang-undang perlindungan anak.

Pandangan dari generasi Z, seperti yang diungkapkan oleh O (23) dan F (23), menyoroti pemahaman yang lebih empatik terhadap anak-anak dari keluarga yang bercerai. Berikut adalah penyempurnaan untuk memberikan aliran yang lebih lancar:

Menurut O (23), pandangan generasi Z terhadap anak-anak dari keluarga yang bercerai adalah bahwa mereka sebenarnya hanya ingin dipahami dan membutuhkan cukup kasih sayang. Anak-anak dari keluarga yang bercerai cenderung pandai menyembunyikan luka mereka.

F (23) menambahkan bahwa, menurut pandangannya, stigma terhadap anak-anak dari keluarga yang bercerai seringkali negatif. Orang-orang mungkin beranggapan bahwa anak-anak tersebut kurang baik secara moral karena dianggap tidak mendapatkan pendidikan yang baik dari orang tua mereka. Namun, menurut F (23), tidak semua anak dari keluarga yang bercerai memiliki karakter buruk. Beberapa dari mereka mengalihkan emosi dan pengalaman negatif mereka ke arah yang positif, belajar dari pengalaman mereka, dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.

F (23) juga menyoroti bahwa banyak anak dari keluarga yang bercerai mengalami berbagai respons terhadap situasi keluarga mereka. Beberapa mengarah ke jalur negatif, seperti menjadi temperamental, sinis terhadap orang lain, atau terlibat dalam pergaulan yang tidak sehat. Namun, ada juga yang menggunakan pengalaman sulit ini sebagai motivasi untuk tumbuh dan berkembang, belajar dari kesalahan orang tua mereka, dan bekerja keras untuk mencegah hal serupa terjadi pada generasi berikutnya.

Saat mereka melampiaskan ke arah negatif, F (23) menekankan bahwa mereka sedang mencari jati diri dan menghadapi berbagai tantangan. Meskipun tidak mudah, ia yakin bahwa anak-anak dari keluarga yang bercerai memiliki kekuatan batin yang luar biasa, dan pengalaman yang penuh dengan kesulitan telah membentuk mereka menjadi individu yang tangguh.

Tulisan dari H (22) dan A (25) memberikan sudut pandang yang berbeda terhadap anak-anak dari keluarga yang bercerai. Berikut adalah penyempurnaan untuk melengkapi pemahaman tersebut:

Menurut H (22), ada pandangan bahwa anak-anak dari keluarga yang bercerai tidak layak dicintai oleh sebagian orang, yang mungkin menginginkan pasangan dari keluarga yang tidak mengalami perceraian. Sementara itu, A (25) menyebutkan bahwa stigma terhadap anak-anak dari keluarga yang bercerai dapat mencakup persepsi bahwa mereka kasar, mudah terbawa perasaan, dan dianggap memiliki kehidupan yang menyedihkan. Beberapa bahkan mungkin membenci orang tua mereka karena perceraian.

Pandangan negatif dari kalangan generasi Z terhadap anak-anak dari keluarga yang bercerai telah menyebabkan stigmatisasi dan penurunan mental mereka. Kesehatan mental dapat terpengaruh dengan perubahan mood, aspek emosional, dan kesejahteraan psikologis yang signifikan. Pesan yang diutarakan adalah untuk tidak membiarkan stigma ini menjadi label yang mendefinisikan diri seseorang, melainkan sebagai tantangan untuk tumbuh dan berkembang, serta mengubah citra negatif dengan mencapai prestasi.

Lebih lanjut, disarankan untuk menjadikan takdir dari Allah sebagai pijakan, menerima dengan pasrah, dan percaya bahwa Allah memilih mereka untuk menjalani hidup sebagai anak dari keluarga yang bercerai karena keyakinan bahwa mereka memiliki kekuatan untuk menghadapi ujian ini.

Anak-anak dari keluarga yang bercerai diharapkan memiliki harapan besar untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi anak-anak mereka di masa depan. Pada akhirnya, setiap individu, terlepas dari latar belakang keluarga mereka, pantas mendapatkan cinta yang tulus tanpa memandang status keluarganya, dan anak-anak dari keluarga yang bercerai dapat menjadi sumber kekuatan dan dukungan untuk sesama yang mengalami situasi serupa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *