Kuningan – Citangtu, sebuah kelurahan yang berada di Kecamatan Kuningan, dengan letak lokasi cukup unik, meski tak jauh dari jantung kota, tetapi untuk sampai di wilayah itu kita harus melewati sedikit turunan, dan tanjakan perbukitan, menembus kerimbunan pepohonan diantara kebun dan hamparan sawah yang tergaris guratan sungai Cisanggarung.
Yang menjadikan semakin unik, tak hanya potret kerukunan antar umat beragama ditampilkan demikian harmonis, karena di Kelurahan Citangtu, selain umat Islam menjadi mayoritas, disana juga terdapat warga yang beragama Katolik, dan kepercayaan Sunda-Jawa, sehingga jika bicara tentang toleransi dengan mereka, bukan teori yang akan diungkapkan, tetapi secara turun temurun hal itu sudah dilakukan demikian tulus, dengan filosifi yang mereka pahami yakni, “Hirup mah kudu akur jeung dulur, akur jeung babaturan, akur jeung tatangga, ameh loba dulur (hidup itu harus damai dengan saudara, damai dengan sahabat, damai dengan tetangga, supaya banyak saudara)”.
Disamping itu, kuatnya rasa cinta, sekaligus betapa hebatnya dalam mempertahankan sani budaya warisan nenek moyang, tercermin dengan tidak sedikit masyarakat Citangtu yang menjadi seniman besar di Kuningan, bahkan tingkat nasional, seperti Muhammad Satari, atau lebih dikenal dengan sebutan Pak Kucit (Kuwu Citangtu) pencipta angklung dari nada pentatonis (da-mi-na-ti-la-da) ke diatonis.
Dan upaya pelestarian budaya-pun senantiasa ditampakan daerah penghasil keripik emping, gadung, juga gemblong itu pada setiap peringatan hari besar nasional, maupun keagamaan, seperti dalam peringatan HUT RI ke-78, yang digabungkan dengan menyambut Hari Jadi Kabupaten Kuningan ke 525, disana tergelar Helaran Budaya dan Pesta Rakyat Kelurahan Citangtu.
Tokoh seni budaya masyarakat Citangtu Edi Kusnadi, Ssn menuturkan, berpusat di lahan parkir Rt. 12/03, Lingkungan Lebakburang, Kelurahan Citangtu, Helaran Budaya dan Pesta Rakyat tersebut dimulai, sejak pukul 07.00 WIB, pada Sabtu (19/8/2023).
Dijelaskan Edi, kegiatan tersebut menempuh rute kurang lebih 2 km, yang diisi dengan pentas seni warga, pada kesempatan itu juga diselenggarakan festival seni siswa SD se-Gugus Ki Hajar Dewantara, yakni Kelurahan Citangtu, dan Desa Cibinuang, dengan cabang yang dilombakan yakni, tembang pupuh, serta biantara (pidato) bahasa Sunda.
“Lomba ini kaitannya dengan Festival Tunas Bahasa Indung (FTBI). Disamping itu, di acara ini dilombakan juga tari kreasi yang diikuti 6 SD, dan puncaknya kami menggelar malam hiburan rakyat,” jelas Edi, Senin (21/08/2023).
Edi mengungkapkan, Helaran Budaya Kelurahan Citangtu merupakan agenda tahunan dengan tujuan untuk mempertahankan seni tradisi yang dimiliki diantaranya, rampak genjring, calung, angklung, dan yang lebih utama adalah Anklung Gambreng, sebuah jenis kesenian tradisional hasil olahan dan peninggalan pak Kucit, yang dirawat, dijaga, sekaligus dikembangkan oleh lingkung seni Sanggar Katiyasa Laras yang dia pimpin.
Di sanggar dibawah pimpinannya yang beralamat di Rt. 12/03, Lingkungan Lebak Burang, lanjut Edi, dimainkan angklung pentatonis, reog, dan tarompet, atau angklung gambreng, yang bisa ditampilkan oleh 20 orang atau lebih, sesuai kebutuhan.
“Saya mempertahankan angklung gambreng, karena ini merupakan sebuah pemartabatan, dimana Citangtu dapat piagam sebagai Kampung Budaya, yang awalnya dirintis oleh pak Kucit, sosok yang sampai sekarang dianggap sebagai tokoh angklung. Dan bekerjasama dengan pak Daeng Sutigna, telah membuat angklung mendunia. Saya mempertahankan tradisi ini sampai sekarang, sesuai dengan Perda nomor 8 tahun 2018, tentang pemeliharaan seni tradisi,” ungkap Edi.
Sementara, tokoh muda Citangtu Teddy Ageng mengaku, seletah melihat kegiatan karnaval dalam memeriahkan HUT RI ke-78, dirinya merasa kagum bercampur bangga, karena ternyata di kampung halamannya, Kelurahan Citangtu, memiliki budaya yang berbeda dari yang lainnya, dan sangat unik.
“Bayangkan, meskipun berada di daerah yang bisa dibilang pelosok, tetapi ternyata ada pionir seni budaya yang lahir dari sini, yakni bapak S. Kucit, atau Kuwu Citangtu, yang memilliki nama lengkap H. Muhammad Satari. Beliau bisa mengharumkan nama kampung kami lebih dahulu, beberapa puluh tahun yang lalu, lewat kesenian angklung gambreng,” ucap Teddy.
Sehingga menurut Teddy, sangat cocok sekali pada kegiatan karnaval kesenian-kesenian yang menjadi kekayaan Citangtu kembali diangkat dan digaungkan, karena itu membuat kaum muda tergugah untuk tetap menjaga, dan melestarikan kekayaan budaya yang dimiliki.
“Seperti acara kemarin, generasi muda dikompakan dengan busana berwarna hitam putih, sedangkan kaum tua dengan pakaian adat sundanya. Disamping itu, kamipun dihibur dengan alunan musik angklung, genjring dan kesenian lainnya yang tak hanya semakin memeriahkan acara, tetapi juga seakan meng-upgrade kembali rasa cinta kami pada seni budaya warsan leluhur,” tutur Teddy. (Yud’s)