Selasa hingga Kamis, 12-14 Mei 1998, kondisi ibu kota Jakarta demikian mencekam, kerusuhan besar meledak di pusat Negara Kesatuan Republik Indonesia, kobaran api, kepulan asap, semburan gas air mata, teriakan marah, jeritan kesakitan, hingga desingan peluru jadi pewarna dalam tragedi yang dikenal Kerusuhan Mei 1998, dengan pemicu awal krisis finansial Asia yang terjadi sejak tahun 1997.
25 tahun silam, atau tepatnya pada tahun 1998, di era kepemimpinan Presiden RI HM. Soeharto tersebut banyak perusahaan yang bangkrut, jutaan orang dipecat, 16 bank dilikuidasi, dan berbagai proyek dihentikan. Krisis ekonomipun terjadi, kemudian kondisi itu memicu rangkaian aksi unjuk rasa pada sejumlah wilayah di Indonesia.
Tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti, yang meregang nyawa ditembus peluru, dan puluhan lainya luka-luka akibat kebrutalan aparat saat berunjuk rasa seakan menjadi sumber ledakan amarah masyarakat, yang saat itu sudah terbebani dengan krisis ekonomi.
Selasa 12 Mei 1998, menjadi titik awal jejak kelam demokrasi di negeri yang penghuninya dikenal kuat dengan budaya ketimuran, saat itu sekitar pukul 11.00 – 13. 00 WIB ribuan mahasiswa Universitas Trisakti melakukan aksi damai, dengan mengadakan mimbar bebas, mereka mengkritisi krisis ekonomi dan menuntut Soeharto mundur di dalam kampus.
Kemudian, para mahasiswa itu mulai turun ke Jalan S. Parman, dan hendak berangkat menuju gedung DPR/MPR RI, namun sekitar pukul 13.15 WIB tepat di depan kantor Wali Kota Jakarta Barat, Polisi yang melihat gerombolan mahasiswa tersebut menghadang langkah mereka. Disana sempat terjadi perundingan antara pihak kepolisian dengan para mahasiswa, dengan kesepakatan yang dicapai ialah para mahasiswa tidak melanjutkan aksi unjuk rasa ke MPR atau DPR.
Sekitar 15 menit setelah itu, pada pukul 13.30 WIB para mahasiswa melakukan aksi damai di depan kantor Wali Kota Jakarta Barat. Kondisi dan situasi saat itu bisa dibilang masih tenang, tidak ada ketegangan samasekali antara pihak aparat dan mahasiswa.
Pukul 16.30 WIB Polisi mulai memasang garis polisi, lalu meminta para mahasiswa untuk memberi jarak 15 meter dari garis tersebut. Dan tidak berselang lama, pihak Polisi pun meminta agar mahasiswa kembali ke dalam kampus.
Tak nampak ketegangan kala itu, dan para mahasiswa menuruti permintaan aparat, mereka membubarkan diri dengan tenang serta tertib. Tetapi, tiba-tiba terjadi suara letupan senjata dari arah belakang barisan mahasiswa. Karuan, mendengar suara tembakan tersebut, para mahasiswapun lantas berlarian, berusaha menyelamatkan diri, mereka berusaha berlindung dengan masuk ke dalam gedung-gedung kampus, sementara aparat masih terus menembakkan senapannya. Tak hanya itu, puluhan gas air mata juga dilemparkan ke dalam kampus.
Kondisi mencekam di kampus demikian pekat terasa sekitar pukul 17.15 WIB, korban-korban tembakan berjatuhan, bahkan empat orang mahasiswa Universitas Trisakti diantaranya, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie dinyatakan meninggal dunia akibat luka tembak pada bagian vital, seperti kepala, tenggorokan dan dada.
Dini hari usai kejadian itu, atau sekitar pukul 01.30 WIB, digelar jumpa pers dengan dihadiri Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoedin, Kapolda Mayjen Hamami Nata, Rektor Universitas Trisakti Prof Dr Moedanton Moertedjo, dua anggota Komnas HAM AA Baramuli dan Bambang W Soeharto, dengan mengambil tempat di Mapolres Metro Jaya.
Keesokan harinya, pada pukul 10.00 WIB, mahasiswa dari berbagai kota, mulai Jakarta, Bogor, Tangerang, serta Bekasi berdatangan ke Universitas Trisakti untuk menyatakan bela sungkawa. Dan dua jam setelah itu, atau pukul 12.00 WIB kerusuhan mulai terjadi di Jakarta, yang diwarnai dengan berbagai aksi pengrusakan, pembakaran bangunan, dan kendaraan bermotor terjadi.
Awalnya, kerusuhan hanya terjadi di area sekitar kampus Trisakti, tetapi kemudian aksi anarkis meluas tak hanya ke kawasan Jakarta lainnya, tetapi di tanggal 14 Mei 1998, pembakaran, pengrusakan, bahkan penjarahan toko yang dilakukan oleh massa merambah hingga kota-kota lain, seperti Bogor, Tangerang, juga Bekasi. Dan saat itu kota-kota tersebut sudah lumpuh total.
Presiden Soeharto, yang saat kejadian itu tengah berada di Kairo, mengetahui terjadi Kerusuhan Mei 1998, dirinya segera bergegas kembali ke Tabah Air. Waktu itu, muncul isu bahwa Presiden Soeharto bersedia untuk mundur dari jabatannya. Akan tetapi, berita tersebut langsung ditampis oleh Menteri Penerangan Alwi Dahlan.
Presiden Soeharto-pun membantah bahwa ia bersedia mengundurkan diri. Namun, jika kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Soeharto sudah hilang, maka Presiden Soeharto bersedia untuk lengser dari jabatannya. Akhirnya, seminggu kemudian, tepatnya tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri dan mengalihkan kekuasaannya kepada BJ Habibie.
Usai Presiden Soeharto mengundurkan diri, tercatat dampak mengerikan tragedi itu dari angka resmi menunjukan sebanyak 499 orang tewas dalam peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Selain itu, lebih dari 4.000 gedung hancur atau terbakar. Kerugian fisik yang ditanggung oleh pemerintah Indonesia sendiri adalah sebesar Rp 2,5 triliun. (Redaksi / Referensi: Redaksi KPG dan Litbang Kompas. (2018). Kita Hari Ini 20 Tahun Lalu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia)