Bandung – Ngabuburit, sebuah kata yang berasal dari bahasa Sunda, kini semakin populer digunakan masyarakat selama bulan Ramadhan, dan penggunaannyapun tidak hanya terbatas di kalangan penutur bahasa Sunda saja, tetapi semakin meluas secara nasional.
Pakar bahasa Sunda Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran Dr. Gugun Gunardi, M.Hum menyebutkan, kata ngabuburit dalam bahasa Sunda berarti “ngalantung ngadagoan burit”, atau bermain sambil menunggu waktu sore.
“Asal katanya dari burit, yaitu waktu sore, atau senja menjelang adzan Magrib, atau menjelang matahari terbenam,” terang Gugun.
Istilah ini, kata Gugun, kemudian digunakan masyarakat sebagai aktivitas untuk menunggu saat berbuka puasa di bulan Ramadhan, dengan ragam kegiatan yang dilakukan, bisa berupa melakukan permainan tradisional, berjalan-jalan, berdagang, hingga melakukan aktivitas keagamaan.
Istilah ini kemudian digunakan masyarakat sebagai aktivitas untuk menunggu saat buka puasa di bulan Ramadan. Ragam aktivitas yang dilakukan bisa berupa bermain permainan tradisional, berjalan-jalan, berdagang, hingga aktivitas keagamaan.
“Istilah ngabuburit sebenarnya sudah ada sejak zaman Orde Baru, atau saat ulama Buya Hamka menjadi ketua umum pertama Majelis Ulama Indonesia pada 1975,” katanya.
Kala itu, menurut Gugun, ulama Buya Hamka mendapat arahan dari Presiden Soeharto untuk mengisi momentum ngabuburit dengan kegiatan keagamaan. Hal ini tentunya bisa diterapkan kembali di masa kini, khususnya oleh para generasi muda.
“Generasi muda bisa melakukan ngabuburit dengan berdiskui. Ini waktu yang bagus sehingga pengetahuan kita dapat bertambah dan juga terjalin silaturahmi,” ujar Gugun.
Saat ini, ngabuburit sudah ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut Dosen Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Unpad Dr. Wahya, M.Hum proses penyerapan kata tersebut ke dalam bahasa Indonesia berawal dari ketidakadaan konsep kata yang sepadan untuk penggunaan sehari-hari di luar penutur bahasa Sunda.
Wahya menjabarkan, ada beberapa pertimbangan, suatu kata bisa digunakan banyak penutur. Pertama, soal bunyi, apakah enak didengar atau tidak mengarah ke makna tertentu. Susunan kata juga dipertimbangkan, seperti apakah sesuai dengan susunan suka kata bahasa Indonesia atau tidak. Pertimbangan selanjutnya adalah keringkasan, yakni kata itu tidak terlalu panjang saat diucapkan.
“Dengan dasar ini tampaknya kata ngabuburit yang berasal dari bahasa Sunda diserap ke dalam bahasa Indonesia,” papar Wahya.
Kata ngabuburit sendiri diserap secara utuh ke dalam bahasa Indonesia tanpa pergeseran makna. Dengan kata lain, Wahya memandang, tidak ada perubahan makna saat kata tersebut digunakan ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa bahasa daerah dapat memperkuat kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
Diterangkan Wahya, dalam kontak bahasa, misalnya bahasa daerah dan Indonesia dikenal istilah interferensi dan integrasi. Interferensi terkait dengan penyerapan kata dari bahasa lain yang masih diperlakukan sebagai kata asing, sedangkan integrasi terkaiit dengan penyerapan yang diperlakukan bukan sebagai kata asing.
Dalam hal ini, lanjut Wahya, kata ngabuburit termasuk ke dalam integrasi, karena tidak diperlakukan sebagai bahasa asing lagi dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, Wahya berpesan kepada masyarakat agar tetap melestarikan bahasa daerah untuk memperkuat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
“Bahasa daerah harus tetap dipelihara atau dilestarikan demi memperkuat dan mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara,” tutur Wahya. (Yud’s / https://www.unpad.ac.id/2023/04/ngabuburit-istilah-bahasa-sunda-yang-memperkaya-kosakata-bahasa-indonesia/).