Jakarta – Surat Tanda Registrasi (STR) untuk dokter dan tenaga kesehatan diusulkan pemerintah agar dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan dapat berlaku seumur hidup, meski begitu, kualitas mereka harus tetap terjaga melalui sistem pemenuhan kompetensi berkala yang wajib dilalui ketika meperpanjang Surat Izin Praktek (SIP).
Hal itu dipertegas Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kemenkes RI drg. Arianti Anaya, MKM, bahwa STR seumur hidup bukan berarti menghilangkan pemenuhan kompetensi secara berkala. Syarat kompetensi akan melekat dalam SIP melalui pemenuhan Satuan Kredit Poin (SKP), seperti yang berlaku saat ini sehingga kualitas dokter dan nakes akan tetap terjaga.
“Jadi tidak benar isu yang beredar jika STR seumur hidup akan menyuburkan praktek dokter dukun atau dokter tremor atau dokter abal-abal, karena mereka tetap diwajibkan mendapatkan sertifikat kompetensi melalui pemenuhan SKP, seperti praktek yang terjadi saat ini. Jadi kualitas mereka tetap terjaga. Bedanya sertifikat kompetensi nantinya akan melekat dalam perpanjangan SIP yang berlaku setiap 5 tahun,” ujar Arianti.
Arianti menyebutkan, Saat ini dokter dan tenaga kesehatan wajib mengurus perpanjangan STR dan SIP setiap 5 tahun sekali, melalui banyak tahapan birokrasi, validasi, dan rekomendasi, sehingga banyak dokter dan tenaga kesehatan merasa terbebani termasuk dengan biaya-biaya yang timbul.
Tetapi, kata Arianti, Pemerintah melalui RUU Kesehatan menyederhanakan proses tersebut menjadi lebih mudah, sehingga nanti yang diperpanjang cukup SIP saja. Tujuan dari penyederhanaan perizinan ini adalah agar dokter dan tenaga kesehatan tidak banyak dibebani, sekaligus bisa tenang menjalankan tugas mulia mereka.
Dijelaskan Arianti, dalam sosialisasi RUU Kesehatan baru-baru ini, Kementerian Kesehatan mengusulkan dalam RUU nanti agar pemenuhan kompetensi atau pemenuhan kecukupan SKP merupakan dasar dari pemberian SIP dan tidak lagi diperlukan surat rekomendasi dari organisasi profesi (OP) seperti sekarang ini.
“Untuk memenuhi kecukupan SKP, dokter dan tenaga kesehatan harus mengumpulkan SKP dalam jumlah tertentu yang dimasukan ke dalam sebuah sistem informasi (SI) yang dikontrol oleh Pemerintah Pusat,” kata Arianti.
Izin praktik, menurut Arianti, baru diterbitkan oleh pemerintah daerah bail Dinkes atau pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) jika dokter dan tenaga kesehatan telah memenuhi kecukupan jumlah SKP tertentu di dalam SI tersebut. Proses registrasi dan izin praktikpun akan terintegrasi dan terhubung antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Poin lain yang disosialisasikan, sambung Arianti, adalah pemerintah pusat dan daerah bersama-sama akan menyusun perencanaan kebutuhan dokter dan tenaga kesehatan di setiap daerah sebagai acuan daerah untuk pemberiaan SIP. Pemberiaan SIP harus mempertimbangkan distribusi dokter dan tenaga kesehatan.
“Pemerintah bersama stakeholder akan membuat standardisasi pembobotan SKP, dan akan ada kemudahan akses pelatihan atau seminar gratis,” tutur Arianti. (Yud’s)