Desa Pegayaman Desa Berpenduduk Mayoritas Muslim Di Pulau Bali

Artikel Pilihan

Meskipun terletak di Pulau Dewata Bali, di desa ini tidak ada sesaji, atau asap dupa, tidak ada pura, tidak ada udeng, atau ukiran. Disini yang hadir adalah kopiah, kain sarung, kerudung (jilbab), dan masjid. Di desa ini tidak ada Bali dengan wajah Hindu, yang ada adalah Bali dengan wajah Islami. Desa ini bernama Pegayaman, satu satunya desa di Bali yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Disebut Pegayaman, karena awalnya kampung ini dibangun di kawasan hutan pohon gayam (Inocarpus edulis), atau dalam bahasa Bali disebut pohon gatep, dengan kondisi alam berbukit memanjang, menyerupai benteng alam yang kokoh, melindungi wilayah Buleleng sepanjang pantai utara Bali.

Karena memang, desa dengan luas 1.548 hektar, yang terbagi dalam empat banjar atau dusun adat, yakni Banjar Dauh Rurung, Banjar Dangin Rurung, Banjar Kubu, dan Banjar Mertasari, serta setiap banjar dipimpin seorang kelian sebagai kepala dusun, berpenduduk 7.200 orang, dimana 95% diantaranya beragama Islam ini berada dalam wilayah Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, di lereng Bukit Gitgit, satu di antara jajaran perbukitan yang memisahkan Bali bagian utara, dengan wilayah selatan. Jaraknya sekitar 9 Km dari Kota Singaraja, dan 87 Km dari Kota Denpasar.

Tidak sulit untuk mencapai lokasi Desa Pegayaman, meskipun berada di balik bukit yang dikelilingi kebun cengkeh dan kopi, tetapi jalan raya menuju desa itu seluruh permukaan aspalnya mulus, sedangkan jalan-jalan desa yang lebih sempit diperkakas dengan semen

Pegayaman merupakan desa kuno, desa ini bukan dihuni oleh para pendatang yang baru tiba di Pulau Bali, mereka adalah orang Bali asli yang sejak ratusan tahun telah menghuni kawasan ini. Walaupun berada di tengah-tengah masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu, masyarakat di Desa Pegayaman ini tetap membangun kehidupan yang harmonis.

Sebagai orang Bali dalam percakapan sehari-hari masyarakat Desa Pegayaman tentu mempergunakan bahasa Bali, meskipun terdapat beberapa kosa kata yang berbeda dengan yang biasa dipergunakan oleh mayoritas masyarakat Bali. Selain bahasa dalam soal nama, uniknya, umat Islam di Desa Pegayaman membubuhi nama urutan keluarga sesuai tradisi Bali seperti Wayan, Putu, atau Gede untuk anak pertama; Made, Kadek, atau Nengah (anak kedua), Nyoman, Komang, atau Koming (anak ketiga), di nama depan mereka yang berbau Islam. Namun demikian, dalam soal berbusana masyarakat Pegayaman sangat berbeda dengan saudara-saudaranya yang beragama Hindu, kaum lelaki di Desa Pegayaman kebanyakan menggunakan sarung, sementara kaum perempuan menggunakan kerudung, tentu saja pakaian semacam ini tidak ada di kampung-kampung yang dihuni orang Bali Hindu.

Perbedaan yang mencolok lainya adalah pada hiasan rumah, dimana umat Islam Pegayaman tidak menggunakan ukir-ukiran yang merupakan hal wajib bagi rumah warga Hindu di Bali. Rumah penduduk muslim juga tidak dilengkapi bangunan sanggah/merajan yang menjadi tempat persembahyangan keluarga di salah satu sudut rumah warga Hindu di Bali.

Desa Pegayaman tidak berdiri sendiri, desa ini dikelilingi oleh 5 desa dengan mayoritas penganut agama Hindu, yakni Desa Silangjana, Pengadungan, Gitgit, Wanagiri, dan Desa Pancasari. Namun, meski berada di tengah-tengah masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu, masyarakat di Desa Pegayaman tetap membangun kehidupan yang harmonis, hal ini menjadi bukti bahwa agama mampu menciptakan suatu kerukunan ditengah-tengah besarnya perbedaan di Pulau Bali.

Intinya, umat Islam di Pegayaman tidak merasa eksklusif. Hal ini dapat diamati pada saat perayaan hari besar agama Hindu, seperti menjelang Nyepi, umat Islam ramai-ramai membantu tetangganya yang beragama Hindu membuat dan mengarak “ogoh-ogoh”. Pada saat Nyepi pun, mereka menghentikan aktivitas sehari-hari dan berdiam diri di dalam rumah untuk menghormati umat Hindu yang melaksanakan ritual tapa brata. Demikian halnya pada hari raya Galungan dan Kuningan, umat Hindu turut memberikan makanan kepada tetangganya yang muslim dan tentunya halal.

Sebaliknya, saat Lebaran dan Hari Raya Kurban, umat Islam yang melakukan tradisi “ngejot” atau memberikan makanan kepada tetangga sekitar rumah. Prilaku seperti itu mencerminkan kehidupan yang harmoni dan penuh toleransi dan sudah barang tentu ini haruslah dicontoh oleh seluruh desa-desa lain untuk menghindari konflik yang berkepanjangan. Sehingga pada akhirnya tercipta ketentraman dan kedamaian dalam menapak kehidupan berbangsa, dan bernegara. (Yud’s)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *