Penulis: Dedi Suhandi, SE, Seksi Bantuan Hukum DPD IPeKB Provinsi Jawa Barat
Miskin struktur kaya fungsi merupakan sebuah keniscayaan ditengah beratnya beban anggaran daerah dalam memenuhi peningkatan pelayanan terhadap masyarakat. Disitulah dibutuhkan kejelian dan analisis yang tepat pemerintah daerah dalam upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat dengan anggaran yang terbatas, sehingga penggunaan anggaran dirasakan manfaatnya oleh publik.
Ditengah tuntutan pemenuhan TPP (Tunjangan Perbaikan Penghasilan) para pejabat struktural maupun tunjangan lainnya, tentu stakeholder kepegawaian daerah harus ekstra keras dalam membentuk organisasi yang efisien, dengan mengkaji ulang tentang jabatan struktural maupun fungsional bukan atas dasar mengakomodir keinginan tetapi berdasarkan prioritas kebutuhan daerah yang disesuaikan dengan kemampuan daerah.
Jika pembentukan sebuah OPD sampai level kecamatan / UPT atau UPTD, mestinya daerah melakukan kajian yang mendalam, agar tujuan efisiensi organisasi linier dengan kondisi keuangan daerah. Jika memaksakan ‘keinginan’ tentu mengakibatkan termarjinalkanya tujuan efisiensi birokrasi.
Cawi-cawi birokrat dengan penguasa yang bermain untuk menyelamatkan jabatan-jabatannya seringkali dijadikan *bargaining* seperti hukum pasar : ada demand ada suplay. Sinergi negatif inilah yang harus diwaspadai.
Permainan pasar gelap jabatan pun mungkin terjadi, karena alih-alih ingin efisiensi tapi justru malah menghamburkan APBD demi segelintir kepentingan, bukan atas kepentingan publik.
Daerah mestinya berfikir keras tentang pentingnya efisiensi anggaran, sehingga APBD lebih tepat sasaran. Bisa saja dengan merestrukturisasi jabatan struktural yang ada dalam konteks miskin struktur kaya fungsi. Contoh yang mungkin tak banyak sorotan publik karena OPD ini tak sekeren lembaga daerah lainnya adalah OPD KB, jika dibandingkan dengan OPD pendidikan misalnya yang tak lagi memiliki UPTD / UPT di kecamatan, padahal OPD ini memiliki urusannya hingga tiap SD di seluruh desa yang sebagian desa memiliki lebih dari satu sekolah dasar.
SKPD-SKPD yang ada *harus* dikaji dan di daur ulang, layakkah di SKPD tersebut ada banyak bidang ? Layakkah ada UPTD? Atau dilapangan cukup dengan Koordinator sebagai pejabat fungsional !?
Contoh konkrit yang ada misalnya disebuah OPD KB daerah, yang menurut hemat penulis lembaga ini telah melampaui SKPD strategis lainnya , tapi justru memiliki tenaga struktural UPTD, padahal cukup dengan mengangkat Koordinator tenaga BKKBN pusat yang ada dilapangan yang sudah memperoleh tunjangan kinerja dari pusat, sehingga tak membebani anggaran daerah, karena dengan keberadaan mereka pun sebenarnya cukup untuk *menghandle* kegiatan program KB daerah, sehingga Pemda tak terbebani dengan Anggaran tunjangan jabatan struktural.
Sebagai mana ada petunjuk Kemendagri dalam suratnya nomor : *520/9340/OTDA* Tahun 2017, Perihal : *Pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, yang penyediaan aparaturnya menjadi kewenangan pemerintah pusat serta penguatan fungsi penyuluh di daerah.* Yang mengisyaratkan *untuk penguatan koordinasi ditingkat kecamatan dapat dibentuk satuan pelayanan berupa unit kerja non struktural dengan menunjuk salah seorang PKB sebagai koordinator yang melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait dan koordinasi rencana kegiatan penyuluhan di kecamatan,* disamping tugas pokok sebagai penyuluh.
Lalu se-Urgensi apakah UPTD OPD KB di level kecamatan? Sehingga ‘mengalahkan’ OPD strategis lainnya? Tentu perlu argumen yang komprehensif dari pemerintah daerah..